Tradisi Kitab Kuning di Pesantren

 

Sumber Foto: Detik

Kitab kuning memiliki ciri khas dicetak di kertas berwarna kuning serta tulisan tidak memiliki harokat alias gundul, itulah sebabnya dinamakan kitab kuning.

Karena tulisannya menggunakan arab gundul maka hanya orang yang memiliki ilmu serta tahu cara membacanya lah yang dapat mengerti. Namun seiring perkembangan zaman muncul kitab kuning yang dicetak ulang dengan gaya baru sudah dicetak menggunakan kertas tidak kuning, atau dicetak di kertas HVS dan sudah diberi harakat.

Ciri kitab kuning yang unik ditulis oleh tokoh dan memiliki sanad yang jelas atau berkesinambungan. Pentingnya sanad memberikan tingkat kualitas keulamaan seorang intelektual. Sanad lah yang membedakan tradisi intelektual pesantren dengan tradisi di lingkungan perguruan tinggi atau lembaga pendidikan umum lainnya.

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis pengajaran agama islam. Maka dari itu kitab kuning erat kaitannya dengan tradisi kehidupan para santri-santriwan di pesantren.

BACA JUGA: Tips Agar Seimbang Antara Akademik dan Organisasi di Kampus

Kitab kuning diajarkan oleh seorang Kiai kepada para santri sekaligus sebagai mediator atau penerjemah bagi para santri agar mudah memahami dan menghayati isi kitab kuning. Pada umumnya menggunakan kitab kuning yang ditulis sejak abad pertengahan, yaitu sekitar abad XII samapi XVI Masehi.

Tentunya Kiai sudah memiliki pengetahuan kitab-kitab yang akan diajarkan, secara berjenjang. Misalnya dalam bidang ilmu nahwu, pelajar atau santri pemula akan diajarkan kitab yang dasar seperti al-Jurumiyah.

Pesantren sangat berperan dalam melestarikan kitab kuning serta sebagai penerus tradisi keilmuan islam klasik, budaya yang dimiliki pesantren ini bersifat asli dari Indonesia.

0 Komentar